Kenaikan PPN Jadi 12 Persen di 2025: Faisal Basri Pertanyakan Keadilan Kebijakan Ini
Money Now21- Ekonom senior Faisal Basri mengkritik rencana pemerintah untuk menaikkan tarif pajak pertambahan nilai (PPN) menjadi 12 persen pada tahun 2025.
Menurutnya, kebijakan ini perlu ditunda karena akan membebani masyarakat.
Faisal menyatakan bahwa kenaikan tarif PPN adalah salah satu strategi pemerintah untuk mengurangi defisit antara pendapatan dan belanja negara.
PPN dipilih karena lebih mudah dipungut dibanding pajak penghasilan (PPh).
"Karena PPN paling gampang. Kalau PPh masih suka nilep-nilep, kalau PPN itu setiap tahun saksi," ujarnya di Kompleks Parlemen, Jakarta, Rabu (10/7/2024).
Di tengah wacana penyesuaian tarif PPN, Faisal menyoroti langkah pemerintah yang memberikan sejumlah insentif perpajakan kepada industri dan masyarakat kelas atas.
Salah satu insentif tersebut adalah pemberian PPN untuk pembelian mobil listrik.
"Mobil listrik kan Rp 40 juta per mobil kaya gitu. Sementara PPN yang mengenai seluruh rakyat dinaikkan, rasa keadilannya di mana?" tuturnya.
Rencana kenaikan tarif PPN ini diatur dalam Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan.
UU tersebut menetapkan bahwa PPN 12 persen akan diberlakukan paling lambat pada Januari 2025.
Sebelumnya, tarif PPN telah dinaikkan menjadi 11 persen sejak April 2022.
Menteri Keuangan Sri Mulyani menjelaskan bahwa pemerintah juga mempertimbangkan kondisi dari subjek PPN, baik orang pribadi maupun badan usaha, dalam menentukan kebijakan tarif PPN untuk menjaga momentum pertumbuhan ekonomi nasional.
"Tentu juga ada kebutuhan untuk meningkatkan penerimaan negara, terutama sesudah kenaikan belanja yang sangat besar pada saat pandemi," ujarnya dalam Rapat Kerja Komite IV DPD RI, Selasa (11/6/2024).
Keputusan terkait kenaikan tarif PPN menjadi 12 persen akan diserahkan kepada pemerintahan baru yang dipimpin oleh Prabowo Subianto dan Gibran Rakabuming Raka.
"Kenaikan tarif PPN 12 persen adalah untuk tahun depan, kami tentu serahkan kepada pemerintah baru," ucap Sri Mulyani.
Dalam dokumen Kerangka Ekonomi Makro dan Pokok-Pokok Kebijakan Fiskal (KEM-PPKF) 2025 menyatakan bahwa salah satu kebijakan teknis perpajakan yang akan diimplementasikan pada tahun depan adalah sesuai dengan UU Nomor 7 Tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (HPP).
Pasal 7, ayat (1), huruf b UU HPP menyebutkan bahwa tarif PPN sebesar 12 persen mulai berlaku paling lambat pada 1 Januari 2025.
Faisal Basri menekankan pentingnya rasa keadilan dalam penerapan kebijakan perpajakan ini.
Menurutnya, peningkatan tarif PPN yang berlaku untuk seluruh masyarakat akan lebih memberatkan mereka yang berada di kelas bawah, sementara insentif pajak justru diberikan kepada kelompok masyarakat yang lebih mampu, seperti pembeli mobil listrik.
"Rasa keadilannya di mana?" tegas Faisal.
Selain itu, Faisal juga mengingatkan bahwa pemerintah harus mempertimbangkan kondisi ekonomi masyarakat yang masih dalam tahap pemulihan pasca pandemi.
Kenaikan tarif PPN bisa berdampak pada daya beli masyarakat dan berpotensi memperlambat laju pemulihan ekonomi.
Di sisi lain, Sri Mulyani mengakui bahwa ada kebutuhan untuk meningkatkan penerimaan negara guna mengakomodir belanja negara yang terus meningkat.
Belanja besar yang dilakukan selama pandemi untuk menanggulangi dampak kesehatan dan ekonomi memerlukan sumber pendanaan yang stabil.
Oleh karena itu, kebijakan peningkatan tarif PPN ini dipandang sebagai langkah strategis untuk menyeimbangkan anggaran negara.
Pemerintah baru yang dipimpin oleh Prabowo Subianto dan Gibran Rakabuming Raka akan menentukan langkah selanjutnya terkait kenaikan tarif PPN ini.
Keputusan tersebut akan menjadi bagian penting dari arah kebijakan perpajakan yang akan diambil guna memastikan penerimaan negara tetap kuat sambil menjaga keseimbangan keadilan sosial dan ekonomi.
Kesimpulan
Kenaikan tarif PPN menjadi 12 persen pada tahun 2025 telah diatur dalam UU Nomor 7 Tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan.
Meski demikian, langkah ini menuai kritik terkait keadilan penerapannya, terutama dari ekonom senior seperti Faisal Basri.
Pemerintah perlu mempertimbangkan dampak kebijakan ini terhadap masyarakat luas, sembari mencari cara untuk meningkatkan penerimaan negara tanpa mengorbankan kesejahteraan rakyat.
Keputusan akhir akan berada di tangan pemerintahan baru yang akan segera mengambil alih kepemimpinan.
